Alkisah
pada masa sebelum kesultanan Banten, di salah satu lereng Gunung Santri
diujung Kali Capit (sekarang kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang)
telah menetap seorang sesepuh yang bernama Ki Beji alias Syekh Abdul
Khofi yang bernama asli Ki Agus Jo. Ki Beji mengajarkan agama islam
kepada santri dan murid-murid. Beliau juga mengajarkan jurus-jurus silat
ditempat beliau bermukim yaitu gunung bongkok, Sumurpitu. Diantara
murid beliau dua orang murid utamanya adalah Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki
Ragil yang berasal dari kampung Gudang Batu Waringin Kurung.
Pada
suatu hari Ki Beji berjalan-jalan menyusuri pesisir sampai dengan
Karanghantu untuk mencari ikan. Di suatu tempat Ki Beji secara tidak
sengaja melihat seorang puteri yang sedang mandi diantara terumbu karang
di Karanghantu, dan pakaian puteri tersebut tersampir dibebatuan
karang. Dalam kebimbangannya Ki Beji pun mengambil pakaian sang puteri
tersebut. Dan ternyata wanita tersebut adalah puteri dari negeri bangsa
jin, yang tidak dapat kembali ke alamnya dikarenakan pakaiannya telah
diambil oleh Ki Beji. Ahirnya dalam kesepakatan mereka berdua, Ki Beji
akan mengembalikan pakaian apabila sang puteri bersedia menikah
dengannya. Ahirnya Ki Beji menikah dengan puteri jin yang diberi nama
Siti Chodijah dan menetap di suatu kampung yang sekarang ini dikenal
sebagai Kampung Terumbu. Dari perkawinannya tersebut Ki Beji dikaruniai
tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan, yaitu Tanjung Anom
(anak pertama), Tanjung Rasa (anak kedua), dan anak ketiga Siti
Badariyah atau Nyi Melati. Anak yang ketiga inilah yang dipersunting
Sultan Hasanudin menjadi istrinya dikemudian hari. Di kampung terumbu
inilah ahirnya Ki Beji menghabiskan hidupnya sambil mengajarkan ilmu
silat Bandrong. Sebelum ajalnya beliau berpesan agar tempat asal beliau
yaitu di lereng Gunung Santri di ujung kali Capit untuk diberi nama
Kampung Beji. Jadi pencak silat yang dikembangkan di Terumbu dan Beji
(daerah sekitar Bojonegara) berasal dari satu guru yaitu Ki Beji.
Perkembangan silat Bandrong di daerah Bojonegara dilakukan oleh dua
orang kakak beradik yaitu Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki Ragil. Dikisahkan
pada saat kesultanan Banten sudah berdiri dengan sultannya Maulana
Hasanudin, terjadi perselisihan antara senopati kerajaan yang bernama Ki
Semar dengan Ki Sarap. Bentrokan fisik tidak dapat dihindari dari
perselisihan ini. Di satu tempat antara Balagendong dan Kampung
Kemuning, keduanya mengadu ketangkasan dan kesaktian ilmu silatnya.
Dikarenakan mereka berdua sama – sama kuat, tangkas dan sakti kanuragan,
perkelahian itu berlangsung sejak sebelum dzuhur sampai sore menjelang
magrib. Ki Sarap telah mengeluarkan seluruh kemampuan silat Bandrong,
semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok
dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama
tangguhnya. Pada ahirnya pertarungan dapat disudahi oleh Ki Sarap dengan
berhasil memenggal kepala Ki Semar dengan menggunakan golok pemberian
Ki Ragil kakanya.
Peristiwa
terbunuhnya Ki Semar oleh Ki Sarap membuat marah Sultan Hasanudin.
Ahirnya Ki Sarap pun ditangkap pihak kerajaan dan dijatuhkan hukuman
mati di tiang gantungan. Tapi ahirnya atas usulan sang permaisuri dengan
pertimbangan bahwa pertarungan itu adalah karena membela diri, bukan
semata-mata karena pembunuhan. Dan juga dengan pertimbangan kerajaan
membutuhkan orang-orang gagah berani, kuat dan berilmu silat tinggi,
ahirnya Ki Sarap bebas dari semua hukuman dengan lolos dari ujian yang
diberikan oleh Sultan Hasanudin terlebih dahulu. Dengan kesaktian dan
ketinggian ilmunya tersebut Ki Sarap menggantikan posisi Ki Semar
sebagai seorang senopati. Kemudian Ki Sarap diberi gelar kehormatan
yaitu ” SENOPATI NURBAYA ”.
Senopati
Nurbaya yang kemudian dikenal Ki Urbaya menjalankan tugas utamanya
untuk mengamankan wilayah laut jawa terutama teluk banten dan pelabuhan
Karanghantu. Beliau bermarkas di ” BOJO – NAGARA ” untuk menghadapi para
bajak laut yang mereka sebut BAJAG – NAGARA, para bajak laut itu
bermarkas di Tanjung. Karena tugasnya selalu menjaga laut, akhirnya nama
Ki Sarap lebih populer dengan gelarnya : ”KI JAGABAYA” atau ”KI JAGA
LAUT”. Saat usianya menjelang senja, Ki Patih Nurbaya menyadari tentang
pentingnya kaderisasi atau generasi penerus. Beliau berniat menurunkan
ilmunya terutama ketangkasan khusus yaitu ilmu beladiri ” Pencak Silat
Banten” yang disebutnya ” Bandrong” , ilmu itu secara khusus diturunkan
kepada putra Sultan Maulana Hasanudin, selanjutnya para punggawa dan
prajurit serta murid – muridnya yang berada di Pulokali dan Gudang batu
Waringin Kurung.
Selanjutnya
pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulokali dan
dibina langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil.
Disanalah mereka berdua menghabiskan masa tuanya, kemudian setelah
dipangil menghadap Yang Maha Kuasa, mereka berdua dimakamkan di
pemakaman umum di daerah Kahal wilayah Kecamatan Bojonegara. Hingga
sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan ” MAKAM KI KAHAL” dan
alhamdulillah sampai sekarang banyak masyarakat yang datang
mengziarahinya terutama para pesilat Bandrong yang saat ini sudah
menyebar di lima propinsi di Indonesia.
Asal Usul nama Silat Bandrong.
Mengingat
kesetiaan masyarakat di kawasan Gunung Santri, Gudang Batu, dan
Pulokali terhadap Kesultanan Banten, maka diresmikanlah Bojonegara
artinya Bojone Negara ( istri negara ). Sedangkan silat asli Banten
diberi nama BANDRONG, diambil dari nama jenis ikan terbang yang sangat
gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang keras dengan
moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi tajam sekali, sehingga ia
merupakan ikan yang sangat berbahaya, sekali serang dapat membinasakan
musuhnya. Ki Patih Jaga Laut atau patih yang selalu melanglang buana
menjaga laut, sangat menyukai dan sering memperhatikan ikan tangkas
gesit ini dan juga jangkauan lompatan jarak jauhnya dan hal itu benar –
benar mempesonanya. Sehingga akhirnya beliau mengambil nama ikan itu
untuk memberi nama ilmu ketangkasan beladiri yang dimilikinya dengan
nama ” PENCAK SILAT BANDRONG” karena tangkas dan gesit serta berbahaya
seperti ikan Bandrong.
Apa makna dari lambang dan warna yg ad pada logo pencak silat Bandrong?
ReplyDeleteApa makna dari lambang dan warna yg ad pada logo pencak silat Bandrong?
ReplyDeletemaaf ka saya hanya memposting sekitar 1 tahun yang lalu untuk kelulusan smk jadi saya mengambil tema tentang pencak silat di kasih waktu 2 bulan untuk 80 postingan
Deletetrima kasih sudah berkomentar jika ada yang kurang mohon kritik dan saran nya ka
#salamolahraga